- Sadarkah kita bahwa segala sesuatu yang
di ciptakan di dunia ini adalah untuk “saling melayani” satu dengan yang
lain? Mari kita sama-sama buktikan dan melihat apa yang ada di sekitar
kita:
Bila anda memiliki kebun bunga di
halaman rumah anda dan terlihat sedang bermekaran, nampak indah bukan?
Keindahan bunga tersebut memberi kesegaran bagi mata anda, dan anda bisa
tersenyum ketika melihatnya. Satu poin kita dapatkan untuk manfaat
bunga itu.
Bukan hanya itu, lebah-lebah dan
kupu-kupu mulai datang untuk menghisap madu dari bunga itu. Pernahkah
kita melihat, bunga-bunga itu melawan atau menolak ketika serangga itu
datang dan mengambil madu mereka? Tidak penah bukan! Serangga-serangga
yang hinggap itu memperoleh keuntungan makanan dari bunga itu dan
menjadi kenyang. Tetapi apakah kita menyadari bahwa ada dampak buruk
bagi bunga itu bila madunya diambil dari mereka? Tentu saja, bunga itu
akan segera menjadi layu dan kering.
Tetapi apakah ini adalah akhir dari
kisah tragis bunga-bunga itu? O… tentu tidak..! di saat bunga-bunga itu
mulai mengering, di saat itu juga diciptakannya sebuah kehidupan baru
yaitu bakal benih/biji yang jumlahnya tak terhitung dari bunga tersebut .
Bila benih-benih itu kering dan jatuh ketanah, maka akan tumbuh
bunga-bunga yang sama dalam jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Contoh yang lain; tentu kita tahu bahwa
“air” adalah sumber kehidupan bukan? Semua mahluk hidup yang ada di
dunia ini sangat bergantung kepada air. Tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan
manusia pun sangat memerlukan air. Air diciptakan untuk memberi
kehidupan bagi dunia ini. Tetapi apakah air menjadi marah bila ia
menjadi tercemar oleh karena limbah-limbah pabrik dan rumah tangga.
Membuat ia menjadi berwarna dan berbau busuk, tidak lagi di anggap
berharga karena membawa banyak penyakit? Hal itu ia lakukan supaya
manusia menjadi bersih dan tetap sehat bukan? Allah tidak membiarkan air
itu hancur dan rusak. Diciptakannya batu-batuan untuk menyaring dan
memurnikannya. Diciptakannya matahari untuk memurnikan air menjadi uap.
Jika hujan datang, air itu membasahi semua yang diam di bumi. Menjadi
murni kembali bukan?
Pernahkah kita melihat bahwa matahari
menjadi egois dan tidak memancarkan sinarnya supaya dapat menumbuhkan
kehidupan di bumi? Pernahkah air berhenti mengalir dan tidak mau memberi
hujan? Pernahkah bunga mengeluh merasa dirugikan karena madunya memberi
kehidupan bagi para serangga? Pada akhirnya kita menyadari bahwa mereka
tidak pernah berhenti untuk memberikan kehidupan bagi mahluk
hidup/ciptaan yang lain. Mereka saling melayani dan memberi kehidupan
kepada yang lainnya, termasuk kita sebagai manusia, turut merasakan dari
buah pelayanan mereka. Akan tetapi menjadi pertanyaan besar bagi kita
sekarang, apakah kita ingat untuk apa kita diciptakan?
Prinsip pelayanan yang sesunggunya
adalah “memberi,” dengan suatu dorong yang kuat atau hasrat untuk “rela
berkorban bagi yang lainnya.” Jika kita melihat semua ciptaan yang ada
disekitar kita, mereka menerapkan satu prinsip yang sama. Pemicu hasrat
keinginan untuk memberi inilah yang kita sebut dengan “kasih.” Kasih itu
rindu untuk memberi yang terbaik. Kasih itu tidak pernah mementingkan
diri, kasih inilah yang tercermin dari Allah Sang Pencipta dunia ini.
1. Sumber Kasih
Allah itu kasih adanya. Apa pun Allah
itu, dan apa pun yang telah dilakukan-Nya, yang masih sedang dilakukan
dan akan dilakukan-Nya, adalah pernyataan dari kasih-Nya. Kasih ini,
kasih yang memberikan kehidupan, penghiburan, dan sulit untuk diuraikan.
Kasih Allah itu jauh lebih besar dari apa yang biasa dikenal oleh
manusia sebagai cinta atau kasih. Yang kadangkala sekedar merupakan
perasaan yang dangkal atau cumbuan sementara, yang seringkali dicampur
dengan kepentingan diri sendiri dan keserakahan. Allah tidak saja
mencintai atau menunjukan kasih, Dia adalah kasih itu sendiri.
“Kita telah mengenal dan telah
percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan
barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah
dan Allah di dalam dia.”
1 Yohanes 4:16
Kita perlu makan dan minum agar dapat
tetap hidup. Tanpa cairan untuk di minum atau makanan untuk dimakan,
hidup kita akan segera berakhir. Tetapi agar kita tetap hidup dalam
pengertian yang sebenarnya dari kata itu, kita juga “memerlukan kasih.”
Ada sesuatu yang tertanam di dalam diri kita yang membutuhkan penerimaan
akan kasih. Kita membutuhkan kasih dari orang tua, saudara, dan
teman-teman kita. Kita butuh untuk menjadi bagian dari masyarakat yang
mengasihi. Namun sama seperti kita butuh menerima kasih, demikian
jugalah kita butuh untuk “memberikan kasih.” Kita ini bukanlah manusia
yang sesungguhnya jikalau kita tidak dapat mengasihi. Tetapi mari
diperjelas: “Kasih yang sejati bukanlah dimulaikan dari diri kita,
kapasitas untuk mengasihi diciptakan di dalam diri kita oleh Pencipta
kita.”
“Sebab itu TUHAN menanti-nantikan
saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit
hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil;
berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”
Yesaya 30:18
Sekitar lima abad sebelum kelahiran
Kristus, seorang ahli filsafat Yunani, Sophocles berkata: “Satu kata
saja akan membebaskan kita semua dari seluruh tekanan dan kesakitan di
dalam kehidupan. Kata itu adalah kasih.” Benar sekali kata-kata ini,
namun orang bijaksana dari Yunani ini tetap masih belum mengetahui
tentang dalamnya kasih yang harus dikabarkan dan dinyatakan oleh Penebus
kita Yesus Kristus
2. Pemberian Terbesar bagi Duni
Mengapa Yesus Kristus datang kedunia?
Mengapa Dia harus menderita, dan apakah perlu bagi-Nya untuk mati di
atas kayu salib? Dan mengapa Dia mau datang kembali dan mengembalikan
dunia ini kepada keadaannya yang semula yang tanpa cacat? Apakah tidak
ada cara yang lain? Dan kalau memang tidak ada, mengapa perlu waktu
sedemikian lamanya sebelum masalah dosa diselesaikan sepenuhnya? Pikiran
kita tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Di
dalam kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas. Allah “merencanakan”
suatu rencana untuk menghadapi bahaya dosa dengan cara yang terbaik yang
memungkinkan.
Allah adalah suci, Dia tidak dapat
mengabaikan pemberontakan melawan hukum-Nya yang sempurna; di sisi yang
lain, sebagai Allah yang penuh kasih, Dia tidak dapat mengundurkan diri
dan membiarkan ciptaan-Nya binasa tanpa melakukan apa-apa untuk
menyelamatkan mereka. Inilah alasan mengapa Yesus Kristus, Pencita itu
sendiri, harus datang menjadi sama dengan manusia. Ia turut merasakan
kelemahan-kelemahan kita, dan rela menanggung penderitaan yang harusnya
kita tanggung, mati untuk membayar dosa dunia supaya yang percaya
kepada-Nya dapat diselamatkan.
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Yohanes 15:13
“Kesucian Allah adalah kemurnian-Nya
yang Maha Agung, yang tidak akan dapat mengizinkan kejahatan moral.
Kasih Allah itu adalah pernyataan keramahan-Nya, kelembutan hati-Nya
merangkul orang-orang yang berdosa. Kesucian Allah adalah perpisahan-Nya
dari yang najis dan cela. Kasih Allah adalah kerelaan-Nya untuk
berhubungan dengan orang-orang yang berdosa, najis, agar dapat menolong
mereka…Namun kemurkaan Allah adalah untuk sementara waktu saja, padahal
kasih-Nya adalah untuk kekekalan.” –Donal G. Bloesch, God the
Almighty: Power, Wisdom, Holiness, Love (Downers Grove, III.:
InterVarsity Press, 1995), hlm. 140-143.
3. Menemukan Kasih
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.
Sebab
tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin
untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah
menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk
kita, ketika kita masih berdosa.”
Roma 5:6-8
Kasih Allah selalu mendahului kasih
kita. Apa pun yang kita katakan tentang kasih, hal ini sangat penting.
“Kasih ini bukanlah suatu dorongan hati, tetapi suatu ‘prinsip Ilahi,’
suatu kuasa yang tetap. Hati yang tidak berserah tidak dapat memulai
atau menghasilkannya. Hanya di dalam hati, dimana Yesus memerintah hal
itu akan ditemukan. Kita mengasihi, Karena Dia terlebih dahulu mengasihi
kita. Dalam hati yang dibaharui oleh anugrah Ilahi, kasih adalah
prinsip perbuatan yang memerintah.” –Ellen G.White, Alfa dan Omega, jld.
7, hlm. 465.
Penulis berkebangsaan inggris yang
terkenal , C.S. Lewis, menggunakan kata “Kasih Pemberian” dan “Kasih
Kebutuhan” untuk membedakan antara kasih Allah dengan bentuknya kasih
manusia. Sementara Allah menghendaki kasih kita lebih dari segala
sesuatunya, Dia tidak membutuhkan kasih kita dengan cara yang sama
memandang dengan mana kita membutuhkan kasih dari pada-Nya dan dari
sesama manusia. “Kita harus memulai dari pada permulaan yang
sesungguhnya, dengan kasih sebagai kekuatan Ilahi. Kasih mula-mula ini
adalah Kasih Pemberian. Di dalam Allah tidak ada rasa lapar yang harus
dipenuhi, hanyalah kelimpahan yang ingin untuk memberi.” –C.S. Lewis, The Four Loves (London: HarperCollins, 1998), hlm. 121.
Kasih kemanusiaan kita perlu diubahkan
oleh kasih Ilahi, agar sementara kita terus merindukan kasih dari orang
lain, kita juga akan mampu memberikan kasih dengan cara yang benar-benar
sama seperti Kristus.
Realitas yang tragis dari dunia ini
adalah mencintai diri sendiri, ambisi buta, kebencian, persaingan,
korupsi dan pertentangan. Selama penduduk dunia ini membiarkan diri
mereka sendiri, secara sadar atau tidak sadar, dituntun oleh
prinsip-prinsip dari pangeran kegelapan, kasih tidak akan memiliki
kesempatan untuk bertumbuh.
Bila mana Kristus bertahta dalam hidup
kita, maka prinsip-prinsip kasih akan menguasai kehidupan kita. Apa pun
kelemahan kita, kita akan tetap tegar bertumbuh di dalam kasih kepada
Allah dan kepada sesama manusia.
4. Kasih Yang Diwujudkan
“Inilah kasih itu: Bukan kita yang
telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang
telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.
Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita,
maka haruslah kita juga saling mengasihi.”
1 Yohanes 4:10-11
Yesus adalah teladan kasih kita yang
paling tinggi. Kalau kita bertanya seperti apakah kasih kita seharusnya,
kita hanya perlu melihat kepada Penebus kita. Di dalam Dia kita dapat
melihat teladan yang sempurna. Mengasihi orang yang mengasihi kita itu
sesuatu yang biasa, dan semua orang bisa melakukannya, tetapi bagaimana
mungkin kita bisa mengasihi orang telah berbuat jahat kepada kita? Para
pemimpin rohani begitu dengki terhadap keberhasilan-Nya, sehingga mereka
bertekat untuk menyingkirkan Dia bahkan bersepakat untuk membunuh Dia.
Mengapa Dia harus mengasihi orang-orang seperti ini?
Keluarga-Nya sendiri seringkali tidak
mendukung Dia. Murid-murid-Nya seringkali bertengkar satu sama lain
bahkan tidak hadir disaat Yesus sangat membutuhkan mereka. Mereka tidak
pernah mengerti jalan yang harus Dia lewati. Bagaimana mungkin Dia dapat
mengasihi mereka pada saat-saat seperti itu ketika mereka sendiri sama
sekali tidak memperdulikan-Nya? Tetapi Kasihnya yang besar itu di
nyatakan diatas kayu salib. Ia berdoa meminta keampunan bagi mereka yang
menganiaya Dia. Dan menebus kita dari hukuman dosa.
Bukan tanpa alasan Yesus mengajarkan
kita untuk mengasihi musuh-musuh kita, atau orang-orang yang pernah
menyakiti kita. Kesanggupan-Nya untuk mengampuni orang-orang yang telah
menyalibkan Dia, telah memberikan kemerdekaan dari Maut. Maut tidak
dapat berkuasa atas-Nya, karena Yesus tidak berdosa dan tidak bercacat,
tidak ada “benih kebencian” di dalam diri-Nya. Kasih-Nya telah terbukti.
Pengharapan ini adalah sebuah janji,
bilamana kita mengasihi orang lain bahkan musuh kita, Yesus akan
memerdekakan kita dari benih-benih kebencian, kepahitan, kemarahan, yang
merusak jiwa dan fisik setiap orang. Benih-benih kebencian telah
menyebabkan begitu banyak penderitaan dan penyakit kronis, serta
pembunuh yang paling mematikan dari dalam diri manusia. Yesus rindu
membalut luka-luka jiwa kita, dan menyembuhkan kita.
Sifat dasar manusia yang jatuh dalam
dosa adalah mementingkan diri, tidak ada sedikitpun yang benar di dalam
diri kita, kita membutuhkan Yesus sebagai sumber dan teladan kasih itu.
Bilamana Kristus bertahta dalam hati kita, sekalipun banyak sekali
terdapat potongan-potongan hati yang hancur, Kristus mampu untuk
merangkainya kembali sehingga kita memiliki hati yang utuh untuk dapat
mengasihi orang lain.
Kasih bukan hanya sekedar ucapan, tetapi
kasih dapat kita rasakan bilamana kita belajar untuk berbuat sesuatu
kepada orang lain. Merawat orang-orang sakit di sekitar kita, memberi
makan kepada orang yang kelaparan, memberikan baju kepada mereka yang
telanjang, memberikan tumpangan bagi mereka yang membutuhkan
perlindungan, bahkan mengampuni orang yang pernah menyakiti kita. Kasih
itu ada dan tidak akan pernah musnah, karena kasih itu adalah kekal.
Kasih Yesus mampu mengubah sifat dasar alamiah kita, dari mementingkan
diri menjadi suka untuk memberi.
Tidak cukub bagi kita hanya menyandang
status hanya sebagai Kristen, tetapi kita tidak pernah belajar untuk
menghidupkan kasih-Nya. Tidak ada buah yang bisa kita hasilkan. Kita
perlu belajar untuk memahami apa itu “pengorbanan.” Kristus lebih dahulu
mengasihi kita, berkorban bagi kita, maka kita harus belajar untuk
mengasihi dan berkorban bagi orang lain.
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di
dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya
sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu
tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok
anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku
dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak
dapat berbuat apa-apa.”
Yohanes 15:4-5