Selasa, 15 November 2016

Renungan: Kasih yang Memerdekakan

Bila anda memiliki kebun bunga di halaman rumah anda dan terlihat sedang bermekaran, nampak indah bukan? Keindahan bunga tersebut memberi kesegaran bagi mata anda, dan anda bisa tersenyum ketika melihatnya. Satu poin kita dapatkan untuk manfaat bunga itu.
Bukan hanya itu, lebah-lebah dan kupu-kupu mulai datang untuk menghisap madu dari bunga itu. Pernahkah kita melihat, bunga-bunga itu melawan atau menolak ketika serangga itu datang dan mengambil madu mereka? Tidak penah bukan! Serangga-serangga yang hinggap itu memperoleh keuntungan makanan dari bunga itu dan menjadi kenyang. Tetapi apakah kita menyadari bahwa ada dampak buruk bagi bunga itu bila madunya diambil dari mereka? Tentu saja, bunga itu akan segera menjadi layu dan kering.
Tetapi apakah ini adalah akhir dari kisah tragis bunga-bunga itu? O… tentu tidak..! di saat bunga-bunga itu mulai mengering, di saat itu juga diciptakannya sebuah kehidupan baru yaitu bakal benih/biji yang jumlahnya tak terhitung dari bunga tersebut . Bila benih-benih itu kering dan jatuh ketanah, maka akan tumbuh bunga-bunga yang sama dalam jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Contoh yang lain; tentu kita tahu bahwa “air” adalah sumber kehidupan bukan? Semua mahluk hidup yang ada di dunia ini sangat bergantung kepada air. Tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan manusia pun sangat memerlukan air. Air diciptakan untuk memberi kehidupan bagi dunia ini. Tetapi apakah air menjadi marah bila ia menjadi tercemar oleh karena limbah-limbah pabrik dan rumah tangga. Membuat ia menjadi berwarna dan berbau busuk, tidak lagi di anggap berharga karena membawa banyak penyakit? Hal itu ia lakukan supaya manusia menjadi bersih dan tetap sehat bukan? Allah tidak membiarkan air itu hancur dan rusak. Diciptakannya batu-batuan untuk menyaring dan memurnikannya. Diciptakannya matahari untuk memurnikan air menjadi uap. Jika hujan datang, air itu membasahi semua yang diam di bumi. Menjadi murni kembali bukan?
Pernahkah kita melihat bahwa matahari menjadi egois dan tidak memancarkan sinarnya supaya dapat menumbuhkan kehidupan di bumi? Pernahkah air berhenti mengalir dan tidak mau memberi hujan? Pernahkah bunga mengeluh merasa dirugikan karena madunya memberi kehidupan bagi para serangga? Pada akhirnya kita menyadari bahwa mereka tidak pernah berhenti untuk memberikan kehidupan bagi mahluk hidup/ciptaan yang lain. Mereka saling melayani dan memberi kehidupan kepada yang lainnya, termasuk kita sebagai manusia, turut merasakan dari buah pelayanan mereka. Akan tetapi menjadi pertanyaan besar bagi kita sekarang, apakah kita ingat untuk apa kita diciptakan?
Prinsip pelayanan yang sesunggunya adalah “memberi,” dengan suatu dorong yang kuat atau hasrat untuk “rela berkorban bagi yang lainnya.” Jika kita melihat semua ciptaan yang ada disekitar kita, mereka menerapkan satu prinsip yang sama. Pemicu hasrat keinginan untuk memberi inilah yang kita sebut dengan “kasih.” Kasih itu rindu untuk memberi yang terbaik. Kasih itu tidak pernah mementingkan diri, kasih inilah yang tercermin dari Allah Sang Pencipta dunia ini.
1.    Sumber Kasih
Allah itu kasih adanya. Apa pun Allah itu, dan apa pun yang telah dilakukan-Nya, yang masih sedang dilakukan dan akan dilakukan-Nya, adalah pernyataan dari kasih-Nya. Kasih ini, kasih yang memberikan kehidupan, penghiburan, dan sulit untuk diuraikan. Kasih Allah itu jauh lebih besar dari apa yang biasa dikenal oleh manusia sebagai cinta atau kasih. Yang kadangkala sekedar merupakan perasaan yang dangkal atau cumbuan sementara, yang seringkali dicampur dengan kepentingan diri sendiri dan keserakahan. Allah tidak saja mencintai atau menunjukan kasih, Dia adalah kasih itu sendiri.
“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.”
1 Yohanes 4:16
Kita perlu makan dan minum agar dapat tetap hidup. Tanpa cairan untuk di minum atau makanan untuk dimakan, hidup kita akan segera berakhir. Tetapi agar kita tetap hidup dalam pengertian yang sebenarnya dari kata itu, kita juga “memerlukan kasih.” Ada sesuatu yang tertanam di dalam diri kita yang membutuhkan penerimaan akan kasih. Kita membutuhkan kasih dari orang tua, saudara, dan teman-teman kita. Kita butuh untuk menjadi bagian dari masyarakat yang mengasihi. Namun sama seperti kita butuh menerima kasih, demikian jugalah kita butuh untuk “memberikan kasih.” Kita ini bukanlah manusia yang sesungguhnya jikalau kita tidak dapat mengasihi. Tetapi mari diperjelas: “Kasih yang sejati bukanlah dimulaikan dari diri kita, kapasitas untuk mengasihi diciptakan di dalam diri kita oleh Pencipta kita.”
“Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”
Yesaya 30:18
Sekitar lima abad sebelum kelahiran Kristus, seorang ahli filsafat Yunani, Sophocles berkata: “Satu kata saja akan membebaskan kita semua dari seluruh tekanan dan kesakitan di dalam kehidupan. Kata itu adalah kasih.” Benar sekali kata-kata ini, namun orang bijaksana dari Yunani ini tetap masih belum mengetahui tentang dalamnya kasih yang harus dikabarkan dan dinyatakan oleh Penebus kita Yesus Kristus
2.    Pemberian Terbesar bagi Duni
Mengapa Yesus Kristus datang kedunia? Mengapa Dia harus menderita, dan apakah perlu bagi-Nya untuk mati di atas kayu salib? Dan mengapa Dia mau datang kembali dan mengembalikan dunia ini kepada keadaannya yang semula yang tanpa cacat? Apakah tidak ada cara yang lain? Dan kalau memang tidak ada, mengapa perlu waktu sedemikian lamanya sebelum masalah dosa diselesaikan sepenuhnya? Pikiran kita tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Di dalam kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas.  Allah “merencanakan” suatu rencana untuk menghadapi bahaya dosa dengan cara yang terbaik yang memungkinkan.
Allah adalah suci, Dia tidak dapat mengabaikan pemberontakan melawan hukum-Nya yang sempurna; di sisi yang lain, sebagai Allah yang penuh kasih, Dia tidak dapat mengundurkan diri dan membiarkan ciptaan-Nya binasa tanpa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan mereka. Inilah alasan mengapa Yesus Kristus, Pencita itu sendiri,  harus datang menjadi sama dengan manusia. Ia turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, dan rela menanggung penderitaan yang harusnya kita tanggung, mati untuk membayar dosa dunia supaya yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan.
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Yohanes 15:13
“Kesucian Allah adalah kemurnian-Nya yang Maha Agung, yang tidak akan dapat mengizinkan kejahatan moral. Kasih Allah itu adalah pernyataan keramahan-Nya, kelembutan hati-Nya merangkul orang-orang yang berdosa. Kesucian Allah adalah perpisahan-Nya dari yang najis dan cela. Kasih Allah adalah kerelaan-Nya untuk berhubungan dengan orang-orang yang berdosa, najis, agar dapat menolong mereka…Namun kemurkaan Allah adalah untuk sementara waktu saja, padahal kasih-Nya adalah untuk kekekalan.” –Donal G. Bloesch, God the Almighty: Power, Wisdom, Holiness, Love (Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1995), hlm. 140-143.
3.    Menemukan Kasih
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.
Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”
Roma 5:6-8
Kasih Allah selalu mendahului kasih kita. Apa pun yang kita katakan tentang kasih, hal ini sangat penting. “Kasih ini bukanlah suatu dorongan hati, tetapi suatu ‘prinsip Ilahi,’ suatu kuasa yang tetap. Hati yang tidak berserah tidak dapat memulai atau menghasilkannya. Hanya di dalam hati, dimana Yesus memerintah hal itu akan ditemukan. Kita mengasihi, Karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita. Dalam hati yang dibaharui oleh anugrah Ilahi, kasih adalah prinsip perbuatan yang memerintah.” –Ellen G.White, Alfa dan Omega, jld. 7, hlm. 465.
Penulis berkebangsaan inggris yang terkenal , C.S. Lewis, menggunakan kata “Kasih Pemberian” dan “Kasih Kebutuhan” untuk membedakan antara kasih Allah dengan bentuknya kasih manusia. Sementara Allah menghendaki kasih kita lebih dari segala sesuatunya, Dia tidak membutuhkan kasih kita dengan cara yang sama memandang dengan mana kita membutuhkan kasih dari pada-Nya dan dari sesama manusia. “Kita harus memulai dari pada permulaan yang sesungguhnya, dengan kasih sebagai kekuatan Ilahi. Kasih mula-mula ini adalah Kasih Pemberian. Di dalam Allah tidak ada rasa lapar yang harus dipenuhi, hanyalah kelimpahan yang ingin untuk memberi.” –C.S. Lewis, The Four Loves (London: HarperCollins, 1998), hlm. 121.
Kasih kemanusiaan kita perlu diubahkan oleh kasih Ilahi, agar sementara kita terus merindukan kasih dari orang lain, kita juga akan mampu memberikan kasih dengan cara yang benar-benar sama seperti Kristus.
Realitas yang tragis dari dunia ini adalah mencintai diri sendiri, ambisi buta, kebencian, persaingan, korupsi dan pertentangan. Selama penduduk dunia ini membiarkan diri mereka sendiri, secara sadar atau tidak sadar, dituntun oleh prinsip-prinsip dari pangeran kegelapan, kasih tidak akan memiliki kesempatan untuk bertumbuh.
Bila mana Kristus bertahta dalam hidup kita, maka prinsip-prinsip kasih akan menguasai kehidupan kita. Apa pun kelemahan kita, kita akan tetap tegar bertumbuh di dalam kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia.
4.    Kasih Yang Diwujudkan
“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi.”
1 Yohanes 4:10-11
Yesus adalah teladan kasih kita yang paling tinggi. Kalau kita bertanya seperti apakah kasih kita seharusnya, kita hanya perlu melihat kepada Penebus kita. Di dalam Dia kita dapat melihat teladan yang sempurna. Mengasihi orang yang mengasihi kita itu sesuatu yang biasa, dan semua orang bisa melakukannya, tetapi bagaimana mungkin kita bisa mengasihi orang telah berbuat jahat kepada kita? Para pemimpin rohani begitu dengki terhadap keberhasilan-Nya, sehingga mereka bertekat untuk menyingkirkan Dia bahkan bersepakat untuk membunuh Dia. Mengapa Dia harus mengasihi orang-orang seperti ini?
Keluarga-Nya sendiri seringkali tidak mendukung Dia. Murid-murid-Nya seringkali bertengkar satu sama lain bahkan tidak hadir disaat Yesus sangat membutuhkan mereka. Mereka tidak pernah mengerti jalan yang harus Dia lewati. Bagaimana mungkin Dia dapat mengasihi mereka pada saat-saat seperti itu ketika mereka sendiri sama sekali tidak memperdulikan-Nya? Tetapi Kasihnya yang besar itu di nyatakan diatas kayu salib. Ia berdoa meminta keampunan bagi mereka yang menganiaya Dia. Dan menebus kita dari hukuman dosa.
Bukan tanpa alasan Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi musuh-musuh kita, atau orang-orang yang pernah menyakiti kita. Kesanggupan-Nya untuk mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan Dia, telah memberikan kemerdekaan dari Maut. Maut tidak dapat berkuasa atas-Nya, karena Yesus tidak berdosa dan tidak bercacat, tidak ada “benih kebencian” di dalam diri-Nya. Kasih-Nya telah terbukti.
Pengharapan ini adalah sebuah janji, bilamana kita mengasihi orang lain bahkan musuh kita, Yesus akan memerdekakan kita dari benih-benih kebencian, kepahitan, kemarahan, yang merusak jiwa dan fisik setiap orang. Benih-benih kebencian telah menyebabkan begitu banyak penderitaan dan penyakit kronis, serta pembunuh yang paling mematikan dari dalam diri manusia. Yesus rindu membalut luka-luka jiwa kita, dan menyembuhkan kita.
Sifat dasar manusia yang jatuh dalam dosa adalah mementingkan diri, tidak ada sedikitpun yang benar di dalam diri kita, kita membutuhkan Yesus sebagai sumber dan teladan kasih itu. Bilamana Kristus bertahta dalam hati kita, sekalipun banyak sekali terdapat potongan-potongan hati yang hancur, Kristus mampu untuk merangkainya kembali sehingga kita memiliki hati yang utuh untuk dapat mengasihi orang lain.
Kasih bukan hanya sekedar ucapan, tetapi kasih dapat kita rasakan bilamana kita belajar untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Merawat orang-orang sakit di sekitar kita, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberikan baju kepada mereka yang telanjang, memberikan tumpangan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan, bahkan mengampuni orang yang pernah menyakiti kita. Kasih itu ada dan tidak akan pernah musnah, karena kasih itu adalah kekal. Kasih Yesus mampu mengubah sifat dasar alamiah kita, dari mementingkan diri menjadi suka untuk memberi. 
Tidak cukub bagi kita hanya menyandang status hanya sebagai Kristen, tetapi kita tidak pernah belajar untuk menghidupkan kasih-Nya. Tidak ada buah yang bisa kita hasilkan. Kita perlu belajar untuk memahami apa itu “pengorbanan.” Kristus lebih dahulu mengasihi kita, berkorban bagi kita, maka kita harus belajar untuk mengasihi dan berkorban bagi orang lain.
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Yohanes 15:4-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar